Nyatanya, sepanjang hayatnya, Nabi lebih lama bermonogami
daripada berpoligami. Bayangkan, monogami dilakukan Nabi di tengah masyarakat
yang menganggap poligami adalah lumrah. Rumah tangga Nabi SAW bersama istri
tunggalnya, Khadijah binti Khuwalid RA, berlangsung selama 28 tahun. Baru
kemudian, dua tahun sepeninggal Khadijah, Nabi berpoligami. Itu pun dijalani
hanya sekitar delapan tahun dari sisa hidup beliau. Dari kalkulasi ini,
sebenarnya tidak beralasan pernyataan "poligami itu sunah".
UNGKAPAN "poligami itu sunah" sering digunakan
sebagai pembenaran poligami.
Namun, berlindung pada pernyataan itu, sebenarnya bentuk
lain dari pengalihan tanggung jawab atas tuntutan untuk berlaku adil karena
pada kenyataannya, sebagaimana ditegaskan Al Quran, berlaku adil sangat sulit
dilakukan (An-Nisa: 129).
DALIL
"poligami adalah sunah" biasanya diajukan karena sandaran kepada teks
ayat Al Quran (QS An-Nisa, 4: 2-3) lebih mudah dipatahkan. Satu-satunya ayat
yang berbicara tentang poligami sebenarnya tidak mengungkapkan hal itu pada
konteks memotivasi, apalagi mengapresiasi poligami. Ayat ini meletakkan
poligami pada konteks perlindungan terhadap yatim piatu dan janda korban
perang.
Dari kedua
ayat itu, beberapa ulama kontemporer, seperti Syekh Muhammad Abduh, Syekh
Rashid Ridha, dan Syekh Muhammad al-Madan --ketiganya ulama terkemuka Azhar
Mesir-- lebih memilih memperketat.
Lebih jauh
Abduh menyatakan, poligami adalah penyimpangan dari relasi perkawinan yang
wajar dan hanya dibenarkan secara syar'i dalam keadaan darurat sosial, seperti
perang, dengan syarat tidak menimbulkan kerusakan dan kezaliman (Tafsir
al-Manar, 4/287).
Anehnya,
ayat tersebut bagi kalangan yang propoligami dipelintir menjadi "hak
penuh" laki-laki untuk berpoligami. Dalih mereka, perbuatan itu untuk
mengikuti sunah Nabi Muhammad SAW. Menjadi menggelikan ketika praktik poligami
bahkan dipakai sebagai toak ukur keislaman seseorang: semakin
aktif berpoligami dianggap semakin baik poisisi keagamaannya. Atau, semakin
bersabar seorang istri menerima permaduan, semakin baik kualitas imannya.
Slogan-slogan yang sering dimunculkan misalnya, "poligami membawa
berkah," atau "poligami itu indah," dan yang lebih populer
adalah "poligami itu sunah."
Dalam
definisi fikih, sunah berarti tindakan yang baik untuk dilakukan. Umumnya
mengacu kepada perilaku Nabi. Namun, amalan poligami, yang dinisbatkan kepada
Nabi, ini jelas sangat distorsif.
Alasannya,
jika memang dianggap sunah, mengapa Nabi tidak melakukannya sejak pertama kali
berumah tangga?
Nyatanya,
sepanjang hayatnya, Nabi lebih lama bermonogami daripada berpoligami.
Bayangkan, monogami dilakukan Nabi di tengah masyarakat yang menganggap
poligami adalah lumrah. Rumah tangga Nabi SAW bersama istri tunggalnya,
Khadijah binti Khuwalid RA, berlangsung selama 28 tahun. Baru kemudian, dua
tahun sepeninggal Khadijah, Nabi berpoligami. Itu pun dijalani hanya sekitar
delapan tahun dari sisa hidup beliau. Dari kalkulasi ini, sebenarnya tidak
beralasan pernyataan "poligami itu sunah".
Sunah,
seperti yang didefinisikan Imam Syafi'i (w. 204 H), adalah penerapan Nabi SAW
terhadap wahyu yang diturunkan. Pada kasus poligami Nabi sedang
mengejawantahkan Ayat An-Nisa 2-3 mengenai perlindungan terhadap janda mati dan
anak-anak yatim. Dengan menelusuri kitab Jami' al-Ushul (kompilasi dari enam
kitab hadis ternama) karya Imam Ibn al-Atsir (544-606H), kita dapat menemukan
bukti bahwa poligami Nabi adalah media untuk menyelesaikan persoalan sosial
saat itu, ketika lembaga sosial yang ada belum cukup kukuh untuk solusi.
Bukti bahwa
perkawinan Nabi untuk penyelesaian problem sosial bisa dilihat pada teks-teks
hadis yang membicarakan perkawinan-perkawinan Nabi. Kebanyakan dari mereka
adalah janda mati, kecuali Aisyah binti Abu Bakr RA.
Selain itu,
sebagai rekaman sejarah jurisprudensi Islam, ungkapan "poligami itu
sunah" juga merupakan reduksi yang sangat besar. Nikah saja, menurut
fikih, memiliki berbagai predikat hukum, tergantung kondisi calon suami, calon
istri, atau kondisi masyarakatnya. Nikah bisa wajib, sunah, mubah (boleh), atau
sekadar diizinkan. Bahkan, Imam al-Alusi dalam tafsirnya, Rûh al-Ma'âni,
menyatakan, nikah bisa diharamkan ketika calon suami tahu dirinya tidak akan
bisa memenuhi hak-hak istri, apalagi sampai menyakiti dan mencelakakannya.
Demikian halnya dengan poligami. Karena itu, Muhammad Abduh dengan melihat
kondisi Mesir saat itu, lebih memilih mengharamkan poligami.
Nabi
dan larangan poligami
Dalam
kitab Ibn al-Atsir, poligami yang dilakukan Nabi adalah upaya transformasi
sosial (lihat pada Jâmi' al-Ushûl, juz XII, 108-179). Mekanisme poligami yang
diterapkan Nabi merupakan strategi untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam
tradisi feodal Arab pada abad ke-7 Masehi. Saat itu, nilai sosial seorang
perempuan dan janda sedemikian rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri
sebanyak mereka suka.
Sebaliknya,
yang dilakukan Nabi adalah membatasi praktik poligami, mengkritik perilaku
sewenang-wenang, dan menegaskan keharusan berlaku adil dalam berpoligami.
Ketika Nabi
melihat sebagian sahabat telah mengawini delapan sampai sepuluh perempuan,
mereka diminta menceraikan dan menyisakan hanya empat. Itulah yang dilakukan
Nabi kepada Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi RA, Wahb al-Asadi, dan Qais bin
al-Harits. Dan, inilah pernyataan eksplisit dalam pembatasan terhadap kebiasan
poligami yang awalnya tanpa batas sama sekali.
Pada banyak
kesempatan, Nabi justru lebih banyak menekankan prinsip keadilan berpoligami.
Dalam sebuah ungkapan dinyatakan: "Barangsiapa yang mengawini dua
perempuan, sedangkan ia tidak bisa berbuat adil kepada keduanya, pada hari
akhirat nanti separuh tubuhnya akan lepas dan terputus" (Jâmi' al-Ushûl,
juz XII, 168, nomor hadis: 9049). Bahkan, dalam berbagai kesempatan, Nabi SAW
menekankan pentingnya bersikap sabar dan menjaga perasaan istri.
Teks-teks
hadis poligami sebenarnya mengarah kepada kritik, pelurusan, dan pengembalian
pada prinsip keadilan. Dari sudut ini, pernyataan "poligami itu
sunah" sangat bertentangan dengan apa yang disampaikan Nabi. Apalagi
dengan melihat pernyataan dan sikap Nabi yang sangat tegas menolak poligami Ali
bin Abi Thalib RA. Anehnya, teks hadis ini jarang dimunculkan kalangan
propoligami. Padahal, teks ini diriwayatkan para ulama hadis terkemuka:
Bukhari, Muslim, Turmudzi, dan Ibn Majah.
Nabi SAW
marah besar ketika mendengar putri beliau, Fathimah binti Muhammad SAW, akan
dipoligami Ali bin Abi Thalib RA. Ketika mendengar rencana itu, Nabi pun
langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: "Beberapa keluarga
Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri
mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan,
sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin
Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah,
putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku
juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga." (Jâmi'
al-Ushûl, juz XII, 162, nomor hadis: 9026).
Sama dengan
Nabi yang berbicara tentang Fathimah, hampir setiap orangtua tidak akan rela
jika putrinya dimadu. Seperti dikatakan Nabi, poligami akan menyakiti hati
perempuan, dan juga menyakiti hati orangtuanya.
Jika
pernyataan Nabi ini dijadikan dasar, maka bisa dipastikan yang sunah justru
adalah tidak mempraktikkan poligami karena itu yang tidak dikehendaki Nabi.
Dan, Ali bin Abi Thalib RA sendiri tetap bermonogami sampai Fathimah RA wafat.
Poligami
tak butuh dukungan teks
Sebenarnya, praktik poligami
bukanlah persoalan teks, berkah, apalagi sunah, melainkan persoalan budaya.
Dalam pemahaman budaya, praktik poligami dapat dilihat dari tingkatan sosial
yang berbeda.
Bagi
kalangan miskin atau petani dalam tradisi agraris, poligami dianggap sebagai
strategi pertahanan hidup untuk penghematan pengelolaan sumber daya. Tanpa
susah payah, lewat poligami akan diperoleh tenaga kerja ganda tanpa upah.
Kultur ini dibawa migrasi ke kota meskipun stuktur masyarakat telah berubah.
Sementara untuk kalangan priayi, poligami tak lain dari bentuk pembendamatian
perempuan. Ia disepadankan dengan harta dan takhta yang berguna untuk mendukung
penyempurnaan derajat sosial lelaki.
Dari cara
pandang budaya memang menjadi jelas bahwa poligami merupakan proses
dehumanisasi perempuan. Mengambil pandangan ahli pendidikan Freire,
dehumanisasi dalam konteks poligami terlihat mana kala perempuan yang
dipoligami mengalami self-depreciation. Mereka membenarkan, bahkan
bersetuju dengan tindakan poligami meskipun mengalami penderitaan lahir batin
luar biasa. Tak sedikit di antara mereka yang menganggap penderitaan itu adalah
pengorbanan yang sudah sepatutnya dijalani, atau poligami itu terjadi karena
kesalahannya sendiri.
Dalam
kerangka demografi, para pelaku poligami kerap mengemukakan argumen statistik.
Bahwa apa yang mereka lakukan hanyalah kerja bakti untuk menutupi kesenjangan
jumlah penduduk yang tidak seimbang antara lelaki dan perempuan. Tentu saja
argumen ini malah menjadi bahan tertawaan. Sebab, secara statistik, meskipun
jumlah perempuan sedikit lebih tinggi, namun itu hanya terjadi pada usia di
atas 65 tahun atau di bawah 20 tahun. Bahkan, di dalam kelompok umur 25-29
tahun, 30-34 tahun, dan 45-49 tahun jumlah lelaki lebih tinggi. (Sensus DKI dan
Nasional tahun 2000; terima kasih kepada lembaga penelitian IHS yang telah
memasok data ini).
Namun, jika
argumen agama akan digunakan, maka sebagaimana prinsip yang dikandung dari
teks-teks keagamaan itu, dasar poligami seharusnya dilihat sebagai jalan
darurat. Dalam kaidah fikih, kedaruratan memang diperkenankan. Ini sama halnya
dengan memakan bangkai; suatu tindakan yang dibenarkan manakala tidak ada yang
lain yang bisa dimakan kecuali bangkai.
Dalam
karakter fikih Islam, sebenarnya pilihan monogami atau poligami dianggap
persoalan parsial. Predikat hukumnya akan mengikuti kondisi ruang dan waktu. Perilaku
Nabi sendiri menunjukkan betapa persoalan ini bisa berbeda dan berubah dari
satu kondisi ke kondisi lain. Karena itu, pilihan monogami-poligami bukanlah
sesuatu yang prinsip. Yang prinsip adalah keharusan untuk selalu merujuk pada
prinsip-prinsip dasar syariah, yaitu keadilan, membawa kemaslahatan dan tidak
mendatangkan mudarat atau kerusakan (mafsadah).
Dan,
manakala diterapkan, maka untuk mengidentifikasi nilai-nilai prinsipal dalam
kaitannya dengan praktik poligami ini, semestinya perempuan diletakkan sebagai
subyek penentu keadilan. Ini prinsip karena merekalah yang secara langsung
menerima akibat poligami. Dan, untuk pengujian nilai-nilai ini haruslah
dilakukan secara empiris, interdisipliner, dan obyektif dengan melihat efek
poligami dalam realitas sosial masyarakat.
Dan, ketika
ukuran itu diterapkan, sebagaimana disaksikan Muhammad Abduh, ternyata yang
terjadi lebih banyak menghasilkan keburukan daripada kebaikan. Karena itulah
Abduh kemudian meminta pelarangan poligami.
Dalam
konteks ini, Abduh menyitir teks hadis Nabi SAW: "Tidak dibenarkan segala
bentuk kerusakan (dharar) terhadap diri atau orang lain." (Jâmi'a
al-Ushûl, VII, 412, nomor hadis: 4926). Ungkapan ini tentu lebih prinsip dari
pernyataan "poligami itu sunah".
Faqihuddin
Abdul Kodir Dosen STAIN Cirebon dan peneliti Fahmina Institute Cirebon, Alumnus
Fakultas Syariah Universitas Damaskus, Suriah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar