Sabtu, 21 Mei 2011

pengabdian mendidik kita untukteguh kawan


Apakah pengabdian itu ?
Pengabdian adalah ketika kita memberikan lebih dari sekedar untuk kebutuhan kita sendiri dengan apa yang kita mampu tanpa bermaksud pamrih kecuali memberi manfaat untuk orang lain dan lingkungannya, agar mendapatkan ridha dari yang Maha Kuasa. Seseorang tidak merasa berjasa karenanya, dia juga tidak meminta pengakuan karenanya. Sesorang melakukannya dengan sukarela..

Bukan berarti ia tidak berbuat untuk dirinya juga, namun ia berbuat lebih .



Pemberdayaan ini memerlukannya. Lihatlah ke masing-masing diri (termasuk saya ke diri saya sendiri ), apakah kita bekerja selama ini hanya untuk sendiri atau juga untuk orang lain dan lingkungan kita secara sukarela. Bukankah Yang terbaik dari Ummat ini adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain, maka ketika misinya masih yang penting untuk diri sendiri (sementara kita wajibkan ada relawan di proyek ini ), bukankah sebaiknya kita mulai merefleksi diri dan berbuat lebih produktif ( bukan justru membuat repot masyarakat.)

Semoga dengan releksi diri ini kita dapat memberikan sesuatu kesadaran dan awal yang baik bahkan terbaik untuk bangsa ini, untuk negara ini, untuk kemanusiaan dan untuk agama masing-masing dan Tuhan.

"Sungguh menarik untuk dicermati bahwa lebah menyimpan madu jauh lebih banyak dari yang sebenarnya mereka butuhkan. Pertanyaan pertama yang muncul pada benak kita adalah: mengapa lebah tidak menghentikan pembuatan dalam jumlah berlebih ini, yang tampaknya hanya membuang-buang waktu dan tenaga? Jawaban untuk pertanyaan ini tersembunyi dalam kata "wahyu [ilham]" yang telah diberikan kepada lebah, ...............................
Lebah menghasilkan madu bukan untuk diri mereka sendiri, melainkan juga untuk manusia. Sebagaimana makhluk lain di alam, lebah juga mengabdikan diri untuk melayani manusia; sama seperti ayam yang bertelur setidaknya sebutir setiap hari kendatipun tidak membutuhkannya dan sapi yang menghasilkan susu jauh melebihi kebutuhan anak-anaknya.

Banyak cara dan strategi untuk dipelajari dari mana saja dan dari siapa saja. Semoga Tuhan mengijinkan dan memberi kekuatan kepada para pelaku pemberdayaan ini untuk melakukan pengabdian. Insya Allah

Wassalamualaikum Wr. Wb

Jumat, 13 Mei 2011

masa yang indah di candi


Hm, Berbeda dengan kota tetangganya, Surabaya, ternyata Kabupaten Sidoarjo yang sarat akan bangunan pabrik ini menyimpan banyak sekali peninggalan sejarah era Klasik Indonesia, Candi Pari adalah salah satunya. Candi Pari sendiri berada di Dusun Candi Pari Wetan, Desa Candi Pari, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.

Bacpacker ke Candi Pari

Tak banyak yang tahu ternyata letak Candi Pari berseberangan dengan Kolam Lumpur Panas Lapindo, bersanding dengan Candi Sumur, Candi Pamotan I dan II serta Candi Wangkal. Jika ditarik garis lurus, Candi Pari hanya berjarak 2,5 Km dari Jalan Raya Porong.

  >  Jika kita berkendara sendiri, maka kita dapat mengarahkan kendaraan kita menuju Kolam Lumpur Panas lapindo. Dari sini kita dapat menanyakan lokasi candi ke penduduk setempat yang sangat mengenal candi ini.

  >  Jika memakai kendaraan umum, maka kita dari arah Surabaya kita dapat naik bus menuju Pandaan atau bus menuju Pasuruan, bilang turun di porong tepatnya di Tugu Kuning. Dari sini kita dapat naik ojek atau becak menuju candi. Jarak yang ditempuh sekitar 4 Km.

>  Saat disini, saya juga melihat adanya penampakan angkot. Setelah saya telusuri, ada angkot dengan kode HV yang lewat Desa Candipari, jumlahnya hanya 15 angkot saja, dengan rute : Pasar Porong – Siring – Pamotan – Wunut – Candipari – Kedungborto – Waung – Jiken – Ploso – Mojoruntut – Krembung – PP.

Deskripsi Dan Sejarah Bangunan

Candi Pari memiliki bentuk yang tambun mengingatkan kita akan candi – candi di Jawa Tengah. Candi dari batu bata merah ini memiliki tinggi 15,40 meter, panjang 16 meter dan lebar 14,10 meter. Candi Hindu ini merupakan peninggalan Kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk. Hal ini terbukti dari adanya pahatan angka tahun 1293 saka (1371 M) di ambang pintu masuk candi.

Candi Pari bisa dibilang masih memiliki bentuk yang utuh, kaki dan badan candi masih ada hanya sebagain atap candi sudah tidak ada. Candi Pari minim sekali akan hiasan atau relief. Hiasan yang ada hanya miniatur candi yang menjorok keluar dari badan candi. Di atas miniatur candi ini terdapat hiasan berupa teratai. Di kanan – kiri miniatur candi ini terdapat lubang angin yang langsung tembus ke dalam bilik candi. Pada bagian atap candi sebenarnya ada hiasan binatang, namun sekarang sudah dalam kondisi yang aus.

Keunikan lainnya mengenai Candi Pari selain bentuknya yang tambun adalah tangga pintu masuk. Jika candi – candi lainnya memiliki tangga masuk yang langsung menuju bilik candi, maka hal ini tidak berlaku bagi Candi Pari. Untuk menuju bilik candi, sebelumnya akan ada  sebuah bidang persegi (batur) yang menjorok keluar dari bawah pintu candi (hal ini juga dapat dilihat di Candi Ngetos dan Candi Bangkal). Dikanan dan kiri batur tersebut terdapat tangga dengan pipi tangga (tempat pegangan) dalam kondisi yang telah  runtuh. Di beberapa sudut halaman candi juga terdapat reruntuhan batu bata, kemungkinan merupakan bekas pagar yang mengelilingi Candi Pari.

Di dalam bilik candi terdapat beberapa batu andesit, arca – arca dalam kondisi yang tak utuh serta beberapa balok kayu. Pada dinding bilik candi yang berhadapan dengan pintu masuk candi, terdapat sandaran arca dengan ukuran 6 x 6 meter. Mengingat besarnya sandaran arca, pasti besar pula arca yang menempati bilik Candi Pari ini. Namun, entah arca apa yang berada disana, mengingat arca tersebut tak pernah diketemukan.

Pemugaran

            Sudah banyak literature dan foto tentang Candi Pari sejak zaman Belanda. Salah satu diantaranya adalah N.J.Krom, yang menerbitkan bukunya Inlejding tot de Hindoe-Java asch Kunst  tahun 1923.


            Pada zaman kolonial belanda pula, Candi Pari pernah dipugar, pemugarannya antara lain memasang kayu pada bagian langit – langit pintu masuk. Pada tahun 1994-1999 Kanwil Depdikbud dan Suaka Peninggalan Sejarah Purbakala Jawa Timur melakukan pemugaran kembali Candi Pari, dan tentunya dibantu oleh Pak Mustain, juru pelihara Candi Pari.

Legenda
            Masyarakat sekitar mengenal Candi Pari dan Candi Sumur sebagai Candi Lanang (Candi laki-laki) dan Candi Wadon (Candi Perempuan). Hal ini dikarenakan legenda tentang tokoh Joko Pandelegan.

            Alkisah, hiduplah Joko Walangtinuk dan Joko Pandelegan sahabatnya. Mereka berdua hidup di Desa Kedungtas dan membabat hutan untuk ditanam padi. Hasil panennya melimpah hingga Raja Hayam Wuruk mengirim orang kesana untuk meminta padi.
            Imbalannya, Joko Walangtinuk diangkat jadi pejabat di Keraton Majapahit. Joko Walangtunik setuju asalakan Joko Pandelegan juga boleh diajak. Namun, Joko Pandelegan beserta istrinya Nyi Roro Walang Angin menolak karena ingin tetap hidup di desa.
          Akhirnya, Joko Pandelegan masuk ke dalam lumbung, sedangkan Nyi Roro Walang Angin masuk ke dalam sumur. Mereka berduapun muksa disana. Untuk mengenangnya, Raja Hayam Wuruk membangun candi di tempat kedua orang itu menghilang. Candi – candi itu sekarang kita kenal dengan sebutan Candi Pari dan Candi Sumur.

            Sayangnya, selama hampir satu jam saya disana, saya tidak bertemu satupun juru pelihara candi, padahal Candi Pari memiliki 3 juru pelihara. Padahal juga sudah dihubungi Bu Maryati yang memiliki warung di depan Candi Pari (suaminya salah satu jupel). Katanya sih, suaminya sedang cari rumput. Tak ada sumber yang bisa ditanyai, apalagi tentang sejarah penemuan Candi Pari.

Candi Pari

            Bagaimanapun juga, Candi Pari sebenarnya sangat cocok dijadikan sebagai tempat rekreasi alternatif. Apalagi kalau wisatawan yang dari dan ke Bromo juga dibelokkan ke Candi Pari dan Candi Sumur setelah mereka mengunjungi Lumpur Panas Lapindo. Walaupun Candi Pari berada di lahan luas, memiliki taman yang tertata beserta kamar mandi, namun sangat jarang orang berkunjung kesini, apalagi kalau bukan musim liburan. O, Ya, jangan lupa juga berkunjung ke Candi Sumur yang berada 100 meter dari Candi Pari.
SITUS MENGGUNG
Tawangmangu, sebuah kecamatan di Kabupaten Karanganyar yang terkenal akan wisata Air Terjun Grojogan Sewu. Tak banyak yang tahu pula, Tawangmangu menyimpan sebuah peninggalan klasik dari era Hindu.

Hm, Sebenarnya, baru tahu juga tentang Situs Menggung saat browsing tentang Candi SukuhCandi Ceto dan Grojogan Sewu. Walaupun kepengen menginap di sekitar Candi Ceto, namun dibatalkan dan memilih mengungsi ke Tawangmangu. Ya ! Karena namanya yang sudah mengIndonesia dan udah jauh – jauh ke Karanganyar, toh tak ada salahnya untuk mampir sejenak kemari, apalagi mendengar adanya candi di kawasan ini, seperti jadi suntikan semangat untuk menginjakkan kaki ke Tawangmangu.
Bacpacker ke Situs Menggung
Banyak sekali kendaraan umum yang menuju ke Tawangmangu. Berhubung bus dari Surabaya tidak turun di terminal Karanganyar. Maka supaya tidak kesulitan naik bus, saya memutuskan turun di Terminal Tirtonadi, Solo.
   > Dari sini, naik bus jurusan Solo – Tawangmangu, estimasi biaya Rp 8.000,-

   > Perjalanan sekitar satu jam dan turun di Terminal Tawangmangu yang merupakan terminal terakhir.

   >  Berhubung tak ada angkot yang menuju ke Situs Menggung, maka ojek merupakan sarana transportasi satu – satunya. Estimasi biaya Rp 6.000,- untuk sekali jalan. Sebaiknya tawar -  menawar harga dulu untuk mengantar kembali karena tak ada ojek di Situs ini dan jalannya merupakan jalan khas pegunungan dengan tanjakan dan kelokan tajam.

   >  Jika berkendara sendiri, maka dari Terminal Tawangmangu, terus saja dan jaraknya tak begitu jauh dari terminal. Perhatikan kanan jalan. Jika ada gapura hijau bertuliskan Desa Nglurah, maka belok saja dan ikuti jalan besarnya, maka akan sampai di Situs Menggung ini. Jika ragu atau tersesat, jangan malu bertanya pada warga sekitar.
Sehabis sarapan, maka kami bertiga memutuskan pergi ke Situs Menggung terlebih dahulu sebelum ke Grojogan Sewu. Karena tak ada ojek yang mangkal di sekitar penginapan maka kami memutuskan untuk berjalan kesana. Sialnya, saya lupa nama desa tempat situs ini berada dan sempat bertanya orangnya tak tahu dan malah ngeloyor pergi. Akhirnya kami berjalan hingga Terminal Tawangmangu dan naik ojek untuk kesana. Dan untunglah ini merupakan pilihan yang tepat.
Situs Menggung, Keadaan Sekitar
Ada yang bilang candi dan ada yang bilang situs. Saya sendiri tak tahu perbedaanya, apakah candi merupakan bangunan yang sudah direnovasi ? dan situs merupakan bangunan yang belum terjamah renovasi ? Jika begitu, maka hal tersebut sepertinya agak rancu karena Situs Menggung ini merupakan tempat yang unik. Situsnya sendiri seperti punden berundak dan mengingatkan kita akan Candi Kethek. Jika di candi Kethek kita tak bisa menemukan adanya relief atau arca, maka disini kita bisa menemukan banyak arca yang tersebar di situs ini.
Situs Menggung berada di  Desa Nglurah, Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah.. Jaraknya sekitar 2 kilometer dari Grojogan Sewu. Jangan heran jika sepanjang perjalanan menuju Situs Menggung kita akan menjumpai banyak sekali kios tanaman hias. Desa Nglurah memang terkenal akan sentranya tanaman hias di Tawangmangu.
Seunik candi lainnya di Gunung Lawu yang berbetuk punden berundak. Situs Menggung terdiri atas tiga teras. Di teras pertama kita hanya akan menemukan empat buah patung dwarapala yang menjaga tangga menuju teras kedua. Selain sudah aus, patung dwarapala ini sendiri unik karena salah satu patungnya dipahat dua arah, depan dan belakang, persis seperti arca di Candi Ceto.


                                  Sudut Lainnya Dari Situs Menggung
Teras kedua sangat luas. Disini terdapat bebatuan yang ditumpuk – tumpuk dan membentuk bidang persegi di beberapa tempat. Pada bidang persegi tersebut terlihat beberapa batu dengan bagian atas yang datar seperti umpak, itu berarti dulu terdapat rumah panggung di situs ini, seperti di Candi Ceto. Lanjut menuju teras ketiga, sebelumnya kita akan menjumpai sepasang arca dwarapala di kaki tangga. Di teras ketiga terdapat pohon yang teramat sangat besar yang ditutupi kain bermotif kotak dan kain kuning. Diatara akarnya yang besar kita dapat melihat sebuah arca kecil yang sudah rusak.
Di ujung teratas teras ketiga terdapat sebuah tembok yang mengelilingi dua arca yang menjadi pusat Situs Menggung ini. Kedua arca dalam tembok ini yang bisa dibilang paling utuh dibanding arca lainnya di Situs ini. Arca yang lebih pendek dikenal dengan sebutan Kyai Menggung dan arca yang paling tinggi [juga merupakan arca tertinggi di Situs ini] disebut Nyi Rasa Putih. Di bawah arca Nyi Rasa Putih terdapat sebuah batu yang memuat satu – satunya relief di situs ini. Tak diketahui makna relief ini karena hanya sepotong saja.
Legenda
Satu – satunya petunjuk yang menandakan kalau situs ini merupakan peninggalan Hindu adalah adanya yoni yang terbalik di pelataran teras dua. Yoni di situs ini sendiri sangat unik karena bentuknya bulat. Tak ada papan informasi di situs ini, bahkan pos penjaga di bawah situs kosong melompong. Tak ayal, internet merupakan satu – satunya sarana untuk menggali informasi tentang situs ini. Kata Menggung didapat dari Kyai Menggung yang diyakini merupakan julukan Narotama, putra Bali yang jadi pengikut Raja Airlangga. Dia mengembara ke Nglurah untuk mendekatkan diri ke Hyang Widhi. Dari perbuatannya ini, kata Menggungpun didapat yang berarti  “melengake marang Gusti Kang Maha Agung”  (memusatkan segala perhatian kepada Tuhan Yang Maha Agung).

                           Arca kyai Menggung Dan Nyi Rasa Putih
Narotama lalu bertemu Nyi Rasa Putih yang sakti yang tinggal di desa seberang. Mereka berdua sering bertengkar hingga melibatkan warga desa mereka. Lambat laun, benci berubah jadi cinta dan merekapun menikah [kaya sinetron ja :D] Hari pernikahan Kyai Menggung dan Nyi Rasa Putih yang jatuh pada Selasa Kliwon Wuku Dhukut dijadikan hari diadakannya upacara Dhukutan mengelilingi dua arca utama sebanyak tujuh kali, baru kemudian melaksanakan Tawuran Dhukutan, dimana setelah aneka prosesi di Situs Menggung selesai, warga dari Dukuh Nglurah Lor dan Dukuh Nglurah Kidul saling lempar sesajen dan segala benda yang ada didekatnya. Setelah ritual selesai maka semua kembali damai tanpa ada dendam.
Jika kyai Menggung adalah Narotama yang hidup pada abad ke-11, maka usia situs ini sudah seribu tahun. Namun bisa juga Situs Menggung berusia sama seperti Candi Sukuh dan Candi Ceto [mengingat bentuknya yang punden berundak] karena tidak adanya data yang valid tentang situs ini.
Situs Menggung Kini
Namun yang pasti setiap malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon banyak sekali orang dari dalam dan luar kota mengalap berkah, mencari keselamatan dan kepentingan lainnya. Bahkan jumlah mereka sangat banyak hingga memenuhi seluruh teras. Dan saat kami kesana masih terdapat beberapa sesajen di samping dua arca utama serta adanya hio di semua arca di situs ini.
Situs Menggung terbilang rapi dan cukup bersih. Tak ada sampah plastik dari pengunjung sebelumnya yang ada hanyalah daun – daun yang berguguran. Hal ini dapat dimaklumi karena Situs Menggung terdapat banyak pohon dan berada di lereng Gunung Lawu serta di belakang situs terdapat hutan pinus.
                                                 Situs Menggung
Situs Menggung, sebuah situs unik era klasik Indonesia yang sangat potensial dijadikan tempat wisata alternatif Tawangmangu, namun gemanya seakan teredam oleh derasnya Grojogan Sewu.

Hm, Candi Mirigambar terletak di Dusun Mirigambar, Desa Mirigambar, Kecamatan Sumbergempol, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Candi Mirigambar ± 7 Km dari pusat kota.

Bacpacker ke Candi Mirigambar
(Maaf jika loadingnya lama dan berat  karena banyaknya gambar)
 
Agak susah juga untuk pergi ke Candi Mirigambar karena letaknya yang agak terpencil.

   >  Dari arah Blitar atau Kediri, kita turun di Pertigaan Jepun. Jarak pertigaan ini dengan Terminal Tulungagung sekitar 1,5 Km.


   >  Dari sini, kita dapat naik angkot kuning jurusan Kalidawir. Minta sama supir angkotnya diturunkan ke jalan terdekat menuju Candi Mirigambar, atau kalau mau kita bisa negosiasi dengan supir angkotnya untuk diturunkan di Candi Mirigambar + dijemput dengan biaya sekali jalan Rp 30.000,- [nego] (Berarti kalau ditotal jadinya 60 ribu) Harga yang mahal, mungkin karena supirnya dikejar setoran [pernah ditawari begitu, tapi langsung saya tolak].


   >  Langkah lainnya, kita bisa naik bus ke Blitar dan turun di Pasar Ngunut. Biaya Rp 4.000,- s/d Rp 5.000,- Dari sini kita bisa naik ojek atau becak menuju Candi Mirigambar.

   >  Jika berkendara sendiri, dari arah Tulungagung, maka sebelum Pasar Ngunut, akan ada perempatan, belok kanan, lurus saja, lalu ada pertigaan lagi, belok kanan. Jika ragu kita bisa bertanya warga arah ke Desa Mirigambar. Sepanjang perjalanan ini kita akan berjumpa banyak sekali papan petunjuk yang mengarah ke Candi Mirigambar, jadi jangan sampai takut tersesat atau rajin – rajinlah bertanya kepada penduduk sekitar. Lebih jelasnya, lihat sini, Pasar Ngunut berada di arah utara.

Candi Mirigambar dikenal oleh warga sekitar dengan sebutan Candi Angling Dharma. Masyarakat sekitar mempercayai bahwa di candi ini dulunya merupakan tempat bertemunya Angling Dharma yang telah dikutuk menjadi burung Belibis  dengan putri yang kelak jadi calon istrinya. Bahkan, di Desa Mirigambar terdapat stasiun radio dengan nama Radio Angling Dharma.

Setelah mengikuti petunjuk jalan, akhirnya saya sampai jumpa di Candi Mirigambar yang terletak di ujung sebuah lapangan dan diapit dua buah pohon beringin dalam ukuran besar. Seperti Candi Boyolangu (atau Candi Gayatri) papan petunjuk terakhir langsung mengarah ke depan candi.

Candi Simbol Perpindahaan Kekuasaan

Candi Mirigambar merupakan candi Hindu dan juga candi tunggal tanpa candi perwara serta terbuat dari batu bata. Candi Mirigambar hanya tersisa bagian kaki candi dan sedikit badan candi ini memiliki panjang 8,5 m. Tinggi 2,35 m. Lebar 7,7m. Candi Mirigambar menghadap ke barat. Pada pintu masuknya dilengkapi dengan pipi tangga yang penuh dengan ukiran indah serta ada gapura yang telah runtuh. Kemungkinan besar pintu masuk candi merupakan gapura tipe paduraksa yang memiliki atap seperti di Candi Borobudur dan Candi Prambanan.



Di tangga pintu masuk, bagian atasnya dibuat dari batu andesit, sedangkan bagian bawahnya masih tetap batu bata. Di atas gapura yang telah runtuh juga terdapat dua arca dari batu andesit. Masing – masing di sisi kanan dan kiri. Sayangnya bentuk kedua arca ini sudah tidak utuh lagi dan lagi – lagi tanpa kepala serta sulit dikenali. Hanya bagian tangan dari arca ini yang masih dapat dilihat.

Saat saya kesini, ada sebuah batu andesit yang sepintas seperti tempat duduk. Setelah saya duduki, saya curiga kalau batu itu merupakan bagian dari candi (sepertinya batu ini sekarang difungsikan sebagai tempat duduk). Setelah diamati, ternyata bagian bawahnya terdapat angka tahun 1310 Saka atau 1388 Masehi. Batu angka tahun ini seharusnya terletak di atas pintu masuk candi. Pada dinding kaki candi sisi timur juga diketemukan pahatan angka tahun 1321 Saka atau 1399 Masehi. Sayangnya, bagian candi sisi timur ini sudah rusak berat.



Tahun – tahun tersebut merupakan tahun pergantian pemerintahan atara Raja Hayam Wuruk dengan Wikramawardhana. Wikramawardhana adalah raja kelima Kerajaan majapahit menggantikan Raja Hayam Wuruk yang telah wafat pada tahun 1389 M. Hal ini juga sesuai dengan isi prasasti tembaga yang konon juga diketemukan tidak jauh dari Candi Mirigambar.

Ada Udang Dibalik Batu Candi

Selain dikenal sebagai tempat bertemunya Burung Belibis Angling Dharama dengan sang putri,masyarakat sekitar juga beranggapan bahwa relief – relief di Candi Gambar merupakan relief yang menceritakan kisah Angling Dharma. Sebenarnya, relief – relief di Candi Mirigambar menceritakan kisah Panji. Relief Panji sendiri mudah dikenali karena memakai topi tekes atau blangkon, bertelanjang dada serta memakai penutup kain pada bagian bawahnya.

Pada bagian pilaster kaki candi terpahatkan sesosok wajah garuda. Pipi tangga juga berhisakan relief serupa pada sisi kanan dan kiri, sayangnya, relief wajah singa yang seharusnya menghiasi bagian depan tangga masuk telah aus dan rusak.



Hal unik tentang Candi Mirigambar adalah adanya relief udang. Relief ini terpahatkan di tubuh candi dan dihiasi sulur – sulur tanaman. Relief udang ini, sejauh yang saya tahu hanya terdapat di Candi Mirigambar. Disebelah relief udang dulunya terdapat relief dua ekor kelinci. Namun karena sudah aus termakan usia, relief ini telah rusak. Para ahli masih belum mengetahui cerita yang terkandung dalam relief hewan ini.

Kisah Candi Mirigambar dan Candi Tuban

Bagian Atas Candi Mirigambar Yang Runtuh

Bagian Belakang Candi Mirigambar Yang Runtuh

Candi Mirigambar kurang jelas kapan diketemukannya, namun laporan Belanda tahun 1915 menyebutkan bahwa kondisi candi tidak jauh beda dengan sekarang. Berdasarkan foto dari N.J.Krom, bagian timur candi sudah rusak namun masih terdapat relief, serta gapura masuk yang lebih tinggi, beberapa relief di kaki candi masih ada dan masih utuh (termasuk relief kelinci) dan juga pilaster garuda masih terdapat di beberapa sudut candi.

Menurut penuturan Pak Suyoto, juru pelihara Candi Mirigambar, di kawasan sekitar candi sering diketemukan batu – batu komponen candi. Bahkan masyarakat juga menemukan empat batu angka tahun lagi. Sayangnya dua batu angka tahun tersebut dijadikan alas jembatan dan dua lainnya masih bisa dilihat karena dibiarkan tergeletak di masjid yang berada beberapa ratus meter dari candi (saya tak sempat kesana beserta Candi Tuban karena waktu yang sempit). Hal ini menandakan, kemungkinan besar Candi Mirigambar merupakan sebuah komplek percandian.




Pada tahun 1970’an, Candi Mirigambar dipugar, pemugaran hanya sebatas menegakkan kembali badan candi yang miring, namun tidak sampai tegak sepenuhnya. Pada saat pemugaran ini, para ahli memasang besi pada pondasi candi agar candi tidak semakin miring, juga agar akar pohon beringin tidak sampai menjalar masuk ke dalam candi dan merusak candi tersebut.

Berselang beberapa tahun setelah Candi Mirigambar dipugar, relief bagian depan sisi kiri candi hilang dicuri. Sekarang yang tersisa hanyalah bidang kosong yang hampa.

Pada tahun 1967, ketika gelombang tragedi 1965 melanda kawasan ini. Aksi Ikonoklastik, yaitu aksi menghancurkan ikon – ikon kebudayaan dan benda yang dianggap berhala terjadi. Candi Mirigambar luput dari pengrusakan karena adanya petinggi desa yang melarang merusak candi ini dan kawasan candi yang dianggap angker. Massapun beralih ke Candi Tuban, dinamakan demikian karena candi ini terletak di Dukuh Tuban, Desa Domasan, Kecamatan Kalidawir, Kabupaten Tulungagung. Candi ini terletak sekitar 500 meter dari Candi Mirigambar.


Candi Tuban (dok. Kompas / Dody Wisnu Pribadi)
Candi Tuban sendiri hanya tersisa kaki candinya. Setelah dirusak, candi ini dipendam dan kini diatas candi telah berdiri kandang kambing, ayam dan bebek. Menurut Pak Suyoto, jika warga mau kembali menggalinya, maka kira – kira setengah sampai satu meter dari dalam tanah, pondasi Candi Tuban bisa tersingkap dan relatif masih utuh. Pengrusakan atas Candi Tuban juga didasari legenda bahwa Candi Tuban menggambarkan tokoh laki – laki Aryo Damar, dalam legenda Angling Dharma dan jika sang laki – laki dihancurkan, maka dapat dianggap sebagai kemenangan. Candi Mirigambar sendiri digambarkan sebagai tokoh Batik Madrim sang perempuan.

Candi Mirigambar, Di Pojok Lapangan, Diapit Dua Pohon Beringin 


Walaupun letak Candi Tuban jauh dari pusat kota, ternyata Candi Mirigambar terkenal dikalangan mahasiswa UI (Universitas Indonesia, Jakarta) jurusan arkeologi. Namun, saat saya kesana dan melihat buku tamu, hampir tiga minggu candi ini tak dikunjungi.

Pak Suyoto, Juru Pelihara Candi Mirigambar 
Candi Mirigambar juga masih dijadikan sarana masyarakat memohon berkah jika akan melangsungkan pernikahan atau acara besar lainnya. Candi ini juga masih dijadikan sebagian orang untuk bersemedi (Baca: agar usahanya makin sukses), menurut penuturan Pak Suyoto, yang paling sering adalah orang dari Nganjuk.

Perlu diingat pula bahwa kondisi candi ini selalu terkunci. Mengingat kejadian diatas, alangkah baiknya untuk menghubungi Pak Suyoto terlebih dahulu – 081334285857nomor ini juga ditulis di bawah papan Candi Mirigambar namun tak begitu jelas. Untungnya, waktu saya kesini ada warga yang dengan sukarela mengantar saya ke rumah Pak Suyoto yang terbilang agak jauh dari lokasi candi.

Candi Mirigambar

Candi Mirigambar, sebuah candi batu batu dengan relief yang eksotik ini memang patut dikunjungi. Dimana lagi kita bisa melihat candi batu bata yang penuh akan relief ?? (lainnya hanya Candi Bajang Ratu dan Candi Jabung) Apalagi didukung dengan nuansa pedesaan yang asri dan dekat dengan pegunungan.......
sebagian dari candi yang aku kunjungi ada yang aku kutip dari beberapa pendapat, dan ini merupakan hal yang luar biasa. kami ucapkan trimakasih atas info dan saran yang telah di berikan.